Rabu, 30 Oktober 2013

PERMASALAHAN SOSIAL DI SEKITAR LINGKUNGAN KITA

      Permasalahan sosial dimasyarakat sangat lah banyak, hampir sering kita jumpai dumana-mana. Permasalahan sosial dapet diatasi sebagai mestinya. Masalah sosial timbul dari suatu pembrontakan masyarakat yang tidak sejalan dan tidak setuju dengan yang lain.

           Kali ini saya akan menjelaskan permasalahan sosial yang ada dilingkungan saya. Mungkin ada banyak sekali permasalahan sosial yang ada disekitar kita. Contoh dari masalah sosial adalah masalah kependudukan, sampah, kemanan, tawuran, rusak atau buruknya fasilitas umum, dan lain-lain.


      1. Masalah Kependudukan

       Masalah kependudukan yang kita alami dinegara kita yaitu penyebaran penduduk yang tidak merata karena terlalu padatnya masyarakat sehingga penyebaran penduduk yang tidak merata. Oleh karena itu sering sekali kita lihat penduduk yang tinggal dijalan, kolong jembatan dan sekitarnya karena sudah tidak dapet lagi tempat tinggal.

      2. Masalah Sampah
        Masalah sampah yang kita alami sangat banyak terjadi. Padahal sudah banyak sekali tempat-tempat sampah diletakkan dijalan supaya tidak membuang sampah sembarang. Tapi penduduk masih sering juga membuang sampah sembarang. Ada yang membuang disungai, diselokan, dan sebagainya. Sehingga mengakibatkan banjir.

      3. Masalah Keamanan 
        Masalah keamanan karena lengahnya suatu masyarakat sehingga dengan mudah gampangnya pencuri masuk dan mengambil barang yang bernilai mahal. Percumah saja ada sekuriti jika pengamannya pun sangat lemah.

      4. Masalah Tawuran
          Masalah tawuran sebenarnya tidak lah penting. Tawuran terjadi karena hal kecil saja, yaitu saling ejek, dan ingin merebut kekuasaan wilayah. Karena cuman ingin merebutkan kekuasaan saja dan mencari nama supaya terkenal dan dibilang jagoan. Jadi masalah tawuran tidak lah sangat berguna, jika ada negoisasi dari kedua pihak maka masalah yang ada akan selesai.

    5. Masalah Rusak dan Buruknya Fasilitas Umum
      Masalah rusak dan buruknya fasilitah umum itu karena tidak terawat fasilitas umum yang ada. Dengan seenaknya mencoret atau merusak fasilitas umum.



NB: Semoga Bermanfaat :)

Rabu, 16 Oktober 2013

Buku Tentang Pengantar Studi Islam

Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam Kedua
P u b l i s h b y : h t t p : / / b a k u l b u k u . c o m
Page 1
SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM KEDUA


Penulis : Chamim Thohari
A. Kedudukan Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam
Islam sebagai agama mempunyai makna bahwa Islam memenuhi tuntutan kebutuhan manusia di mana saja berada sebagai pedoman hidup baik bagi kehidupan duniawi maupun bagi kehidupan sesudah mati. Dimensi ajaran Islam memberikan aturan bagaimana caranya berhubungan dengan Tuhan atau Khaliqnya, serta aturan bagaimana caranya berhubungan dengan sesama makhluq, termasuk di dalamnya persoalan hubungan dengan alam sekitar atau lingkungan hidup. Dalam perkembangan selanjutnya, dalam mengemban tugas ini, manusia memerlukan suatu tuntunan dan pegangan agar dalam mengolah alam ini mempunyai arah yang jelas dan tidak bertentang dengan kehendak Allah. Islam sebagai ajaran agama yang diturunkan oleh Allah. kepada umat manusia melalui Rasul-Nya adalah satu pegangan dan tuntunan bagi manusia itu sendiri dalam mengarungi kehidupan ini.
Allah mengutus para Nabi dan Rasul-Nya kepada ummat manusia untuk memberi petunjuk kepada jalan yang lurus dan benara agar mereka bahagia dunia dan akhirat. Rasululloh lahir ke dunia ini dengan membawa risalah Islam, petunjuk yang benar. Hukum Syara‟ adalah khitab Syari’ (seruan Allah sebagai pembuat hukum) baik yang sumbernya pasti (qath’i tsubut) seperti Al-Qur‟an dan Hadis, maupun ketetapan yang sumbernya masih dugaan kuat (zanni tsubut) seperti hadits yang bukan tergolong mutawatir.
Mengenai kedudukan hadis sebagai sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur‟an, seluruh umat Islam – kecuali sebagian kecil saja – sepakat tentangnya, sehingga konsekwensinya adalah bahwa seluruh umat Islam tidak dibenarkan hanya berpegang pada salah satu saja dari kedua sumber hukum tersebut, yaitu al-Qur‟an dan al-Hadis, tetapi diwajibkan mengikuti hadis Nabi sebagaimana kewajiban mereka dalam mengikuti al-Qur‟an.
Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam Kedua
P u b l i s h b y : h t t p : / / b a k u l b u k u . c o m

Page 2
Ketika membahas masalah ini, muncul sebuah pertanyaan yang menurut kapasitas keilmuan penulis sangat sulit ditemukan jawabannya, yaitu mengapa Allah tidak menjadikan petunjuk-Nya menjadi satu dalam kitabullah (al-Qur‟an) saja, mengapa harus ada hadis sebagai bayan (penjelas) bagi al-Qur‟an? Lama sekali penulis memikirkan jawaban dari pertanyaan tersebut. Hingga akhirnya terbersit di dalam hati penulis jawaban yang hingga kini belum juga dapat memuaskan hati, yaitu karena Nabi saw sebagai uswah hasanah (suri tauladan). Sekiranya semua wahyu Allah diturunkan dalam bentuk kitabullah, tanpa ada yang diturunkan dalan bentuk hadis Nabi, maka manusia akan sulit sekali memahami maksud-maksud teks wahyu tersebut. Misalnya, perintah shalat dan tata caranya, ketika hanya diturunkan dalam bentuk teks wahyu, tanpa ada contoh amali (perbuatan praktis) dari Nabi, maka kita akan kesulitan memahaminya, lebih-lebih umat Islam yang non-Arab.
Begitu juga dengan ajaran Islam tentang kemuliaan akhlak, jika Nabi hanya menyerukan wahyu dalam bentuk teks saja tanpa beliau memberikan contoh tentang berakhlak yang baik, maka tentu saja orang yang diseru tidak akan menerima ajaran kebaikan dari orang yang tidak dapat memberi contoh tentang kebaikan yang diajarkan tersebut.
Demikianlah Allah menurunkan wahyu-Nya melalui dua bentuk, yaitu al-Qur‟an dan hadis Nabi yang menjadi pelengkap kesempurnaan ajaran Islam. Adapun mengenai kedudukan hadis sebagai sumber hukum, maka terdapat dua argumen yang membuktikan keabsahannya, yaitu argumen naqli dan argumen aqli.
1. Argumen Naqli
a. Dalil Al-Qur,an
Al-Qur‟an menerangkan bahwa kewajiban mentaati Allah menyebabkan kewajiban mentaati Rasul-Nya, dan kewajiban mentaati Rasul-Nya menyebabkan kewajiban mentaati risalah dan apa yang diajarkannya. Misalnya firman Allah dalam surat al-Nisa‟ayat 136:
Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam Kedua
P u b l i s h b y : h t t p : / / b a k u l b u k u . c o m

Page 3
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan kepada Kitab yang Allah turunkan kepada rasul-Nya serta Kitab yang Allah turunkan sebelumnya. barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, Maka Sesungguhnya orang itu Telah sesat sejauh-jauhnya.
Ayat tersebut menyerukan kepada kaum mukminin untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, juga kitab-kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya, serta ancaman bagi orang-orang yang mengingkarinya.
Selain itu, Allah juga memerintahkan untuk mentaati segala bentuk ajaran, baik berupa perundang-undangan maupun peraaturan lain yang dibawa oleh Rasul-Nya, baik larangan maupun perintah. Misalnya dalam surat al-Hasyr ayat 7 berikut:

Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.
Pada ayat yang lain, yaitu surat Ali Imran ayat 32:

Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam Kedua
P u b l i s h b y : h t t p : / / b a k u l b u k u . c o m

Page 4
Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".
Juga pada ayat 92 surat al-Maidah:

Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul-(Nya) dan berhati-hatilah. jika kamu berpaling, Maka Ketahuilah bahwa Sesungguhnya kewajiban Rasul kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.
Perintah mentaati Allah dan Rasul-Nya juga terdapat dalam ayat 54 surat al-Nur:

Katakanlah: "Taat kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling Maka Sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang".
Pada setiap ayat di atas, perintah mentaati Allah selalu disertai dengan perintah mentaati Rasul-Nya, hal ini menunjukkan betapa ketaatan kepada Allah tidak mungkin tercapai tanpa disertai dengan ketaatan kepada Rasul-Nya. Dan ketaatan kepada Rasul harus dibuktikan dengan mematuhi sabda-sabdanya serta mengamalkan ajaran-ajarannya, baik perintah maupun larangan.
Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam Kedua
P u b l i s h b y : h t t p : / / b a k u l b u k u . c o m

Page 5
Tentang ketaatan kepada Allah yang disambungkan dengan ketaatan kepada Rasul pada ayat-ayat di atas, Quraisy Syihab mengomentari sebagai berikut:
Sementara itu, ulama tafsir mengamati bahwa perintah taat kepada Allah dan Rasul-Nya yang ditemukan dalam Al-Quran dikemukakan dengan dua redaksi berbeda. Pertama adalah Athi’u Allah wa al-Rasul, dan kedua adalah Athi’u Allah wa athi’u al-Rasul. Perintah pertama mencakup kewajiban taat kepada beliau dalam hal-hal yang sejalan dengan perintah Allah, karena itu, redaksi tersebut mencukupkan sekali saja penggunaan kata athi’u. Perintah kedua mencakup kewajiban taat kepada beliau walaupun dalam hal-hal yang tidak disebut secara eksplisit oleh Allah dalam Al-Quran, bahkan kewajiban taat kepada Nabi tersebut mungkin harus dilakukan terlebih dahulu – dalam kondisi tertentu – walaupun ketika sedang melaksanakan perintah Allah, sebagaimana diisyaratkan oleh kasus Ubay ibn Ka‟ab yang ketika sedang shalat dipanggil oleh Rasul saw. Itu sebabnya dalam redaksi kedua di atas, kata athi’u diulang dua kali, dan atas dasar ini pula perintah taat kepada Ulu Al-’Amr tidak dibarengi dengan kata athi’u karena ketaatan terhadap mereka tidak berdiri sendiri, tetapi bersyarat dengan sejalannya perintah mereka dengan ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya.1 Menerima ketetapan Rasul saw. dengan penuh kesadaran dan kerelaan tanpa sedikit pun rasa enggan dan pembangkangan, baik pada saat ditetapkannya hukum maupun setelah itu, merupakan syarat keabsahan iman seseorang, demikian Allah bersumpah dalam Al-Quran Surah Al-Nisa‟ ayat 65.
Kemudian beliau melanjutkan penjelasannya:
Tetapi, di sisi lain, harus diakui bahwa terdapat perbedaan yang menonjol antara hadis dan Al-Quran dari segi redaksi dan cara penyampaian atau penerimaannya. Dari segi redaksi, diyakini bahwa wahyu Al-Quran disusun langsung oleh Allah SWT. Malaikat Jibril hanya sekadar menyampaikan kepada Nabi Muhammad saw., dan beliau pun langsung menyampaikannya kepada umat, dan demikian seterusnya generasi demi generasi. Redaksi wahyu-wahyu Al-Quran itu, dapat dipastikan tidak mengalami perubahan, karena sejak diterimanya oleh Nabi, ia ditulis dan dihafal oleh sekian banyak sahabat dan kemudian disampaikan secara tawatur oleh sejumlah orang yang –menurut adat– mustahil akan sepakat berbohong. Atas dasar ini, wahyu-wahyu Al-Quran menjadi qath‟iy al-wurud. Ini, berbeda dengan hadis, yang pada umumnya disampaikan oleh orang per orang dan itu pun seringkali dengan redaksi yang sedikit berbeda dengan redaksi yang diucapkan oleh Nabi saw. Di samping itu, diakui pula oleh ulama hadis bahwa walaupun pada masa sahabat sudah ada yang menulis teks-teks hadis, namun pada umumnya penyampaian atau penerimaan kebanyakan hadis-hadis yang ada sekarang hanya berdasarkan hafalan para sahabat dan
1 Perhatikan Firman Allah dalam QS 4:59.
Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam Kedua
P u b l i s h b y : h t t p : / / b a k u l b u k u . c o m

Page 6
tabi‟in. Ini menjadikan kedudukan hadis dari segi otensititasnya adalah zhanniy al-wurud.
Walaupun demikian, itu tidak berarti terdapat keraguan terhadap keabsahan hadis karena sekian banyak faktor - baik pada diri Nabi maupun sahabat beliau, di samping kondisi sosial masyarakat ketika itu, yang topang-menopang sehingga mengantarkan generasi berikut untuk merasa tenang dan yakin akan terpeliharanya hadis-hadis Nabi saw.
Demikian pendapat Quraisy Syihab tentang kewajiban taat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta kedudukan hadis dalam hierarki syari‟at Islam. Dalam penjelasannya, Quraisy Syihab tampak menunjukkan sikapnya yang rasional dalam mendudukkan sunnah sesuai dengan tempatnya.
b. Dalil Hadis
Selain kewajiban taat kepada Rasul serta menjadikan ajarannya sebagai pedoman hidup dijelaskan di dalam al-Qur‟an, hal itu dijelaskan pula di dalam beberapa riwayat hadis. Misalnya sabda beliau:
تشكت ف كٍى أيش ن تضهىا يا ت سًكتى به اً كتاب الله وس تُ بَ هٍ
“Aku tinggalkan dua pusaka untuk kalian, yang kalian tidak akan tersesat jika berpegang teguh pada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.”2
Di dalam hadis yang lain disebutkan:
...فعه كٍى بس تُ وس تُ انخهفاء انشاشذ اٌُن هًذ ,ٌٍٍ ت سًكىا بها وعضىا عه هٍا...
“Wajib bagi kalian berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah khalifah yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya”.3
Ketika Muadz bin Jabal di utus ke Negeri Yaman, sebelum berangkat ia ditanya oleh Rasulullah saw. Rasul bertanya,”Bagaimana kamu akan memutuskan suatu permasalahan yang dihadapkan kepadamu?” Muadz menjawab,”Saya akan
2 Jalaluddin ibn Abu Bakar Al-Suyuthi, Jami’us Shaghir. h.505.
3 Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dalam kitab Sunan, kitab Muqaddimah, hadis no.42.
Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam Kedua
P u b l i s h b y : h t t p : / / b a k u l b u k u . c o m

Page 7
memutuskannya berdasarkan kitab Allah.” Rasul bertanya,”Seandainya kamu tidak mendapatkannya di dalam kitab Allah?” Muadz menjawab,”Dengan sunnah Rasulullah.” Rasul bertanya,”Seandainya kamu tidak menemukannya di dalam kitab Allah dan Sunnah Rasul?” Muadz menjawab,”Saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri. Maka Rasulullah saw menepuk-nepuk dada Muadz dan berkata,”Segala puji bagi Allah yang telah menempatkan utusan Rasul Allah sesuai dengan yang diridhai Rasul Allah.” 4
Rasulullah saw memerintahkan kepada umatnya untuk mengikuti sunnahnya, dan mencela orang yang meninggalkannya, meskipun orang itu hanya menggunakan al-Qur‟an sebagai pegangan hidupnya. Sabda beliau,”Pastilah hampir ada seseorang diantara kalian yang duduk bersandar di tempat duduknya, yang datang kepadanya sebagian perkaraku, yang aku diperintahkan atau dilarang, lalu berkata;”Aku tidak tahu, apa yang bisa kami temukan di dalam kitabullah akan kami ikuti.”
Hadis-hadis di atas membuktikan wajibnya mentaati Rasul dan berpegang pada sunnahnya.
2. Argumen Aqli
Jumhur ulama menyatakan bahwa as-sunnah memiliki kedudukan kedua setelah al-Qur‟an . Dalam hal ini Al-Suyuti dan Al-Qasimi memberikan sebuah pemikiran yang rasional dan tekstual. Adapun argumen tersebut ialah:
1. Al-Qur‟an memiliki sifat qath’i al-wurud, sedang as-sunnah bersifat zhanni al-wurud.5 Oleh sebab itu yang bersifat qath’i harus didahulukan.
2. As-sunnah memiliki peran sebagai penjabaran al-Qur‟an. Ini harus dipahami bahwa yang menjelaskan (as-sunnah) berkedudukan setingkat di bawah yang menjelaskan (al-Qur‟an).
3. Adanya beberapa hadis dan atsar yang memberikan keterangan tentang urutan dan kedudukan as-sunnah setelah al-Qur‟an. Hal ini bisa di lihat dari dialog antara Nabi
4 Imam Abu Dawud dalam kitab Sunan, hadis no.3.592.
5 Yang dimaksud dengan zhanni al-wurud dalam konteks ini adalah hadis ahad, bukan hadis mutawatir.
Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam Kedua
P u b l i s h b y : h t t p : / / b a k u l b u k u . c o m

Page 8
dengan Mu‟az bin Jabal yang waktu itu diutus ke negeri Yaman sebagai Qadli. Nabi bertanya: “Dengan apa kau putuskan suatu perkara?”. Mu‟az menjawab, “Dengan Kitab Allah”. Jika tidak adanya nashnya, maka dengan sunnah Rasulullah, dan jika tidak ada ketentuan dalam sunnah maka dengan berijtihad.6
4. Al-Qur‟an berasal dari Allah sedang sunnah atau hadis berasal dari hamba dan utusannya, maka selayaknya segala sesuatu yang berasal dari Allah itu lebih tinggi kedudukannya dibanding sesuatu yang berasal dari hamba-Nya.
Selain itu masih ada beberapa poin lagi yang menjadi argumen aqli tentang kedudukan hadis sebagai sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur‟an, yaitu:
a. Ijma’ Ulama
Berdasarkan konsensus (ijma’), umat Islam dan para ulama mengamalkan sunnah selain mengamalkan al-Qur‟an. Kesepakatan umat Islam dalam mempercayai, menerima dan mengamalkan sunnah Rasul telah terjadi sejak masa beliau masih hidup, dan dilanjutkan pada generasi Khulafa‟ Rasyidin dan pada generasi berikutnya.hal ini dibuktikan dengan banaknya hafalan mereka tentang hadis dan tersimpan kokoh di hati mereka, serta terjaga dengan mengamalkannya dan mengajarkannya kepada generasi berikutnya hingga hadis Nabi dapat menyebar dan diwarisi umat Islam sampai sekarang.
Secara historis, ada banyak sekali peristiwa yang menunjukkan adanya kesepakatan umat dalam menggunakan hadis sebagai sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur‟an, di antaranya adalah beberapa peristiwa sebagai berikut:
Suatu ketika Abdurrahman bin Yazid pernahh melihat seorang laki-laki yang melakukan ihram dengan menggunakan pakaian yang berjahit. Kemudian Abdurrahman meminta agar orang itu melepas pakaiannya dan mengikuti sunnah Nabi tentang cara berpakaian saat berihram. Kemudian laki-laki tersebut berkata,”Coba bacakan kepada saya ayat al-Qur‟an yang mengharuskan aku melepas pakaianku ini.” Abdurrahman
6 Meskipun penulis memasukkan riwayat ini sebagai argumen naqli mengenai kedudukan hadis, namun riwayat ini juga dapat dimasukkan sebagai argumen aqli yang mendudukkan hadis pada peringkat kedua setelah al-Qur‟an.
Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam Kedua
P u b l i s h b y : h t t p : / / b a k u l b u k u . c o m

Page 9
kemudian membacakan firman Allah:”Apa saja yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah.”7
Ketika Imam Thawus mengerjakan shalat dua raka‟at sesudah shalat asar, Ibnu Abbas yang menyaksikan hal itu memperingatkan,”Tinggalkanlah shalat dua raka‟at itu.” namun Thawus membantahnya, ia berpendapat bahwa larangan Rasulullah saw tentang shalat dua raka‟at sesudah asar itu hanya karena beliau khawatir kalau shalat dua raka‟at tersebut dianggap sebagai shalat sunnah. Jika dua raka‟at dikerjakan tanpa niat, maka tidak apa-apa.8 Namun Ibnu Abbas tetap berpegang kepada larangan Rasululullah saw yang melarang shalat secara mutlak shalat sesudah shalat asar. Ibnu Abbas kemudian menegaskan bahwa Thawus tidak mempunyai pilihan mengenai apa yang dibawa oleh Rasulullah saw berdasarkan firman Allah:”Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah dia Telah sesat, sesat yang nyata.”9
Ketika Abu Bakar menjadi khalifah, ia berkata,”Aku tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan oleh Rasulullah saw, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya.”10 Abdullah bin Umar berkata,”Allah telah mengutus Nabi Muhammad saw kepada kita dan kita tidak mengetahui sesuatu. Maka sesungguhnya saya makan sebagaimana makannya Rasulullah saw, dan saya shalat sebagaimana shalatnya Rasulullah saw.”11 Usman bin Affan pernah berkata,”Saya duduk sebagaimana
7 Surat al-Hasyr ayat 7.
8 Pendapat ini senada dengan pendapat beberapa ulama fiqih yang mengatakan bahwa yang dilarang Rasulullah saw hanya shalat sunat ba‟diyah saja, sedangkan untuk shalat yang sifatnya kondisional, misalnya seperti shalat Tahiyyatul-Masjid, maka tidak mengapa dikerjakan sesudan shalat asar.
9 Surat al-Ahzab ayat 36.
10 Imam Abdullah Ahmad bin Hanbal. Musnad Ahmad bin Hanbal. (Beirut: Al-Maktab Al-Islamiy, t.t.). h. 164.
11 Ibid. Juz.8. h. 67.
Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam Kedua
P u b l i s h b y : h t t p : / / b a k u l b u k u . c o m

Page 10
duduknya Rasulullah saw, saya makan sebagaimana makannya Rasulullah saw, dan saya shalat sebagaimana shalatnya Rasulullah saw.”12
Kiranya contoh-contoh di atas cukup untuk menunjukkan bahwa mayoritas umat Islam menjadikan hadis Nabi saw sebagai pedoman dalam hidup dan beragama.
b. Hadis Sesuai dengan Petunjuk Akal
Pada bagian sebelumnya penulis telah mengajukan sebuah pertanyaan, mengapa harus ada hadis? Kemudian penulis menyampaikan pendapatnya bahwa karena uswah (contoh-contoh) dalam menjalankan perintah Allah melalui kitabullah, sangatlah diperlukan. Salah satu penyebabnya adalah karena tingkat intelektual masyarakat pada waktu dimana al-Qur‟an turun, tidaklah sama. Dan tentu saja perbedaan dalam hal itu akan terus berlangsung sepanjang zaman. Sehingga Nabi bertugas memberikan bimbingan kepada umatnya untuk mengamalkan ajaran agama ini sesuai dengan tingkat rasio yang bisa dijangkau masing-masing sahabat beliau. Sehingga seringkali kita dapatkan apabila ada dua orang atau dua kelompok yang saling bertentangan dalam memahami risalah Islam, kemudian dihadapkan kepada Nabi, maka beliau tidak langsung menyalahkan salah satunya, tetapi membolehkan perbedaan tersebut dan membiarkan keduanya menjalankan syari‟at sesuai dengan apa yang dipahaminya. Dengan demikian hadis selalu sejalan dengan akal beserta segala kapasitasnya.
Seluruh uraian di atas dimaksudkan memberi gambaran mengenai kedudukan dan pentingnya menempatkan hadis sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur‟an. Sedangkan yang dimaksud hadis dalam konteks ini tentu saja hadis yang shahih dan mutawatir.
B. Fungsi Hadis Terhadap Al-Qur’an
Menetapkan hukum yang terdapat di dalam al-Qur‟an bertujuan untuk menunjukkan bahwa masalah-masalah yang terdapat di dalam al-Qur‟an dan sunnah itu sangat penting untuk diimani, dijalankan dan dijadikan pedoman dasar oleh setiap muslim. Menempati posisi kedua setelah al-Qur‟an, sunnah memiliki fungsi sebagai bayan
12 Ibid. Juz.1 . h.378.
Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam Kedua
P u b l i s h b y : h t t p : / / b a k u l b u k u . c o m

Page 11
(penjelas) atau penafsir yang dapat mengungkapkan tujuan dan maksud-maksud al-Qur‟an. Firman Allah:”Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang diturunkan kepada mereka dan supaya mereka berpikir.”13
Adapun penjelasan-penjelasan hadis terhadap al-Qur‟an diantaranya:
1. Bayan Al-Taqrir
Bayan taqrir di sebut juga dengan bayan al-Ta’kid atau bayan al-Isbat, yaitu sunah berfungsi untuk mengokohkan atau menguatkan apa yang telah disebutkan di dalam al-Qur‟an. Bayan taqrir juga disebut sebagai bayan al-muwafiq li al-nas al-kitab. Hal ini karena kemunculan hadis-hadis itu senada atau searah dengan al-Qur‟an. Misalnya hadis riwayat al-Bukhari sebagai berikut:
“Islam didirikan atas lima perkara: Bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, haji, dan berpuasa di bulan Ramadhan.”14
Hadis ini mentaqrir ayat-ayat al-Qur‟an tentang syahadat pada surat al-Hujurat ayat 15, shalat dan zakat dalam surat al-Nur ayat 56. Hadis ini juga sesuai dengan kandungan dalam surat al-Baqarah ayat 83 tentang kewajiban berpuasa Ramadhan, Ali Imran ayat 97 tentang haji, dan ayat-ayat lainnya yang senada dengan hadis tersebut.
Contoh berikutnya adalah hadis-hadis tentang berpuasa apabila melihat hilal sebagai berikut:
“Janganlah kamu berpuasa hingga kamu melihat bulan (hilal), dan janganlah kamu berbuka hingga kamu melihatnya. Dan jika terjadi gelap terhadapmu, maka
13 Q.S. al-Nahl: 44.
14 Shahih al-Bukhari. Kitab al-Adzan, hadis no.8.
Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam Kedua
P u b l i s h b y : h t t p : / / b a k u l b u k u . c o m

Page 12
perkirakanlah bulan itu.”15 Juga hadis “Apabila kalian melihat hilal, maka berpuasalah, dan jika kalian melihatnya maka berbukalah.”16
Hadis-hadis tersebut mentaqrir ayat 185 surat al-Baqarah sebagai berikut:”(beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu….
Contoh yang lain adalah hadis riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah:”Tidak diterima shalat orang yang berhadas sebelum ia berwudhu.”17
Hadis ini mentaqrir ayat 6 surat al-Maidah:”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.”
2. Bayan Al-Tafsir
Yang dimaksud dengan bayan al-tafsir adalah penjelasan hadis terhadap ayat-ayat yang memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut, seperti pada ayat-ayat yang mujmal, mutlak dan „amm. Maka fungsi hadis dalam hal ini adalah memberikan perincian (tafshil) dan penafsiran terhadapayat-ayat al-Qur‟an yang masih mujmal, memberikan taqyid atas ayat-ayat yang masih mutlaq, serta memberikan takhshish atas ayat-ayat yang masi umum.
a. Bayan Tafshil (Merinci Ayat-ayat Mujmal)
15 Shahih al-Bukhari. Kitab al-Shaum. Hadis no. 1773.
16 Shahih Muslim. Kitab al-Syiyam. Hadis no. 1798.
17 Shahih al-Bukhari. Kitab Thaharah. Hadis no.135.
Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam Kedua
P u b l i s h b y : h t t p : / / b a k u l b u k u . c o m

Page 13
Yang dimaksud dengan bayan tafshil ialah, bahwa sunnah itu menjelaskan atau memperinci ke-mujmal-an al-Qur‟an, karena al-Qur‟an bersifat mujmal (global) maka agar dia dapat berfungsi kapan saja dan dalam keadaan apa saja diperlukan perincian, maka dari itulah fungsi sunnah sangat diperlukan.
Misalnya fungsi sunnah sebagai bayan tafshil yaitu masalah perintah shalat, mengeluarkan zakat, melaksanakan haji dan qishash. Perintah untuk melakukan hal-hal di atas, secara gamblang dapat terdapat di dalam al-Qur-an. Namun teknik operasional dari hal-hal tersebut tidak dijelaskan dalamal-Qur‟an, akan tetapi didapati dalam hadis-hadis Nabi.
Dalam permasalahan shalat misalnya, wa aqimu shalat (dirikanlah shalat) merupakan perintah oleh Allah kepada manusia untuk melaksanakan shalat, bahkan menurut para ulama, kalimat tersebut merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan, tetapi tata cara dan bilangan rakaatnya tidak diperjelas dalam al-Qur‟an, oleh sebab itu muncullah hadis yang menjelaskan bagaimana pelaksanaan shalat, sebagaimana hadis:
صهىاك اًء أ تٌ ىً اصهى
”Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku mengerjakan shalat.” Begitu pula hal-hal yang berkenaan dengan shalat, misalnya shalatnya orang yang muqim, bepergian, dalam keadaan perang, dalam keadaan sakit, maupun yang lainnya. Secara syarat, rukun serta praktek pelaksanaannya, semua dijelaskan oleh Rasulullah saw di dalam hadis.
b. Bayan Taqyid (Mentaqyid Ayat-ayat yang Mutlaq)
Kata mutlaq berarti kata yang menunjuk pada hakekat kata itu sendiri apa adanya, dengan tanpa memandang kepada jumlah maupun sifatnya. Mentaqyid yang mutlaq artinya membatasi ayat-ayat yang mutlaq dengan sifat, keadaan, atau syarat-syarat tertentu. Misalnya sabda Nabi saw yang mentaqyid ayat yang mutlaq adalah:
لا تمطع ذٌ انساسق إلا ف سبع د اٌُس فصاعذا
Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam Kedua
P u b l i s h b y : h t t p : / / b a k u l b u k u . c o m

Page 14
“Tangan pencuri tidak boleh dipotong, kecuali pada pencurian senilai seperempat dinar atau lebih.”18
  1. Hadis ini mentaqyid ayat 38 surat al-Maidah.

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri maka potonglah tangan keduanya sebagai pembalasan atas apa yang mereka perbuat dan sebagai siksaan dari Allah…”
c. Bayan Al-Takhshish (Mengkhususkan Ayat-ayat yang Bersifat Umum)
Selain bersifat umum mujmal (global), al-Qur‟an juga memiliki ayat-ayat yang bersifat umum, dari sini fungsi sunnah adalah mengkususkan. Perbedaannya dengan bayan tafshil ialah kalau bayan tafshil, sunnah berfungsi sebagai penjelas yang kelihatan tidak ada pertentangan, sedangkan pada bagian takhsish ini di samping sunnah sebagai bayan, juga antaraal-Qur‟an dan sunnah secara lahiriah nampak ada pertentangan.
Adapun contoh sunnah yang men-takhsish-kan al-Qur‟an adalah :
a. Dalam al-Qur‟an dikatakan bahwa setiap orang dihalalkan menikahi wanita-wanita bahkan juga berpoligami, tetapi dalam hadis dikatakan:
لا جٌ عً ب ان شًأ وع تًها ولاب ان شًأة وخانتها
”Tidak boleh seorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan ’ammah (saudara bapaknya), dan seorang wanita dengan khalah (saudara ibu)nya”.19
Dan juga dalam hadis :
18 Shahih Muslim. Kitab Hudud. Hadis no.3190.
19 Shahih Muslim. Kitab al-Nikah. Hadis no.2517.
Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam Kedua
P u b l i s h b y : h t t p : / / b a k u l b u k u . c o m

Page 15
ا الله حشو ي انشضاعت ياحشو ي انىلادة .
”Sesungguhnya Allah mengharamkan mengawini seseorang karena sepersusuan, sebagaimana halnya Allah telah mengharamkannya karena senasab”.20
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa al-Qur‟an mengemukakan hukum atau aturan-aturan yang bersifat umum, yang kemudian dikhususkan dengan sunnah.
b. Dalam al-Qur‟an dikatakan bahwa anak-anak dapat mewarisi orang tuanya dan keluarganya, hal itu dijelaskan dalam surat an-Nisa ayat 11:
ىٌُصِ كٍُىُ ه اللهُ فِ أَوْلادِكُىْ نِه ه زكَشِ يِثْمُ حَظِّ الأ ثََْ “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, (yaitu) bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan.”
Ayat tersebut menjelaskan bahwa setiap anak berhak mendapat harta pusaka (ahli waris) dan bagian laki-laki dua kali bagian anak perempuan, kemudian ayat ini dikhususkan dengan sunnah yang berbunyi:
لا شٌث ان سًهى انكافشولاانكافشان سًهى
”Seorang muslim tidak boleh mewarisi harta si kafir dan si kafir pun tidak boleh mewarisi harta si muslim”.21
Begitu juga dalam hadis:
لا شٌث انماتم ي ان مًتىل ش عٍا
20 Sunan Tirmidzi. Kitab al-Radha’. Hadis no.1066.
21 Shahih Bukhari. Kitab al-Fara’id. Hadis no. 6267.
Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam Kedua
P u b l i s h b y : h t t p : / / b a k u l b u k u . c o m

Page 16
”Seorang pembunuh tidak mewarisi harta orang yang dibunuh”.22
3. Bayan Al-Tasyri’
Yang dimaksud dengan bayan tasyri‟ adalah penjelasan tasyri‟ yang berupa mengadakan, mewujudkan, atau menetapkan suatu hukum atau aturan-aturan syara‟ yang tidak terdapat dalam al-Qur‟an. Rasulullah saw berusaha menunjukkan suatu hukum dengan cara menjawab pertanyaay-pertanyaan yang diajukan para sahabat yang tidak didapati jawabannya dalam al-Qur‟an.
Sebagai contoh dalam masalah ini adalah hadis tentang zakat fitrah sebagai berikut:
فشض سسىل الله صهى الله عه هٍ و سهى صكاة انفطش ي سيضا عهى ان اُس صاعا ي ت شً أو صاعا ي شع شٍ عهى كمّ حشّ أو عبذ ركش أو أ ثَى ي ان سًهًٍٍ
“Rasulullah saw telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan Ramadhan satu sha’ kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba sahaya, laki-laki atau perempuan.”23
Selain hadis hadis tersebut, masih ada beberapa hadis lagi yang termasuk ke dalam kelompok hadis yang menyandang fungsi sebagai bayan tasyri’, misalnya hadis tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara istri dengan bibinya), hukum syif’ah, hukum merajam pezina wanita yang masih perawan, hukum membasuh bagian sepatu dalam berwudhu, hukum tentang ukuran zakat fitrah, dan hukum tentang hak waris bagi seorang anak.24
Bayan ini oleh sebagian ulama disebut juga sebagaibayan zaid „ala al-Kitab al-Karim (tambahan terhadap nask al-Qur‟an).25 Disebut tambahan karena sebenarnya di
22 H.R. al-Nasa‟i, hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan lafal yang berbeda (lihat Sunan Ibnu Majah, kitab Diyat. Hadis no.2635). lihat juga riwayat dalam Sunan Tirmidzi. Kitab al-Fara’id. Hadis no.2035.
23 Shahih Muslim. Kitab Zakat. Hadis no.1.636.
24 Musthafa As-Siba‟i. Sunnah, Op.Cit. h.346.
25 Abbas Mutawali Hamadah. As-Sunnah Al-Nabawiyah wa Makanatuha fi Tasyri’. (Kairo: Dar Al-Qoumiyah Al-Nasyr, 1965). h.434.
Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam Kedua
P u b l i s h b y : h t t p : / / b a k u l b u k u . c o m

Page 17
dalam al-Qur‟an sendiri telah terdapat ketentuan-ketentuan pokoknya. Misalnya hadis tentang diyat, dalam al-Qur‟an masalah ini telah ditemukan ketentuan pokoknya, yaitu pada surat al-Nisa‟ ayat 92. Begitu juga hadis tentang haramnya binatang buas dan keledai jinak, ketentuan pokoknya telah ada dalam surat al-A‟raf ayat 157. Berdasarkan hal tersebut tampaknya terbukti apa yang dikatakan oleh Abu Zahrah bahwa tidak ada satu hadis pun yang berdiri sendiri, yang tidak ditemukan aturan pokoknya dalam al-Qur‟an.26
Hadis Rasulullah saw yang termasuk dalam bayan tasyri‟ ini wajib diamalkan sebagaimana wajibnya mengamalkan hadis-hadis yang lainnya. Ibnu Qayyim berkata,”Hadis Nabi yang berupa tambahan terhadap al-Qur‟an merupakan kewajiban atau aturan yang harus ditaati, tidak boleh menolak atau mengingkarinya, dan bukanlah sikap Rasul itu mendahului al-Qur‟an, melainkan semata-mata karena perintah-Nya.”27
4. Bayan Al-Naskh
Ketiga bayan yang telah disebut dan diuraikan di atas tampaknya disepakati oleh para ulama, meskipun untuk bayan yang ketiga sedikit dipermasalahkan.28sedangkan untuk bayan yang terakhir ini, yaitu bayan naskh, terdapat banyak sekali perbedaan pendapat. Di antara ulama ada yang mengakui dan menerima fungsi hadis sebagai nasikh dan ada banyak yang menolaknya. Dalam beberapa literatur didapati para ulama mutakalimin seperti Mu‟tazilah dan Asy‟ariyah, ulama Malikiyah, Hanafiyah, Ibnu Hazm serta sebagian ulama Zahiriyah. Sedangkan mereka yang menolaknya diantaranya ialah As-Syafi‟i dan mayoritas pengikutnya, juga mayoritas ulama dari kelompok Zahiriyah.
Di antara para ulama baik mutaqaddimin maupun muta’akhirin terdapat perbedaan pendapat dalam mendefinisikan bayan nasakh ini. Perbedaan pendapat ini terjadi karena
26 Muhammad Abu Zahrah. Ushul Fiqh. (Dar Al-Fikr, t.t.). h.112.
27 Ibnu Qayyim Al-Jauzi. I’lam al-Muwaqi’in. (Mesir: Matba‟ah al-Sa‟adah, 1955). Jilid 2, h.289.
28 Penulis termasuk dalam pihak yang mempermasalahkan bayan yang ketiga ini. Karena menurut hemat penulis, kewajiban mentaati hadis sebagai bayan tasyri‟ perlu mempertimbangkan aspek maqashid syari’ah (tujuan-tujuan pensyari‟atan), artinya kewajiban tersebut tidak hanya berpegang pada teks hadis semata, tetapi harus mempertimbangkan situasi dan kondisi serta tujuan-tujuan Rasulullah memerintahkan atau melarang suatu perkara dengan hadis semacam ini.
Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam Kedua
P u b l i s h b y : h t t p : / / b a k u l b u k u . c o m

Page 18
perbedaan mereka dalam memahami makna nasakh dari sudut kebahasaan.29 Menurut ulama metaqaddimin, bahwa bayan nasakh adalah adanya dalil syara‟ yang datangnya kemudian.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka ketentuan yang datang kemudian dapat menghapus ketentuan yang datang terdahulu. Kelompok ulama yang membolehkan hadis menasakh al-Qur‟an berpendapat bahwa hadis sebagai ketentuan yang datang kemudian daripada al-Qur‟an dalam hal ini dapat menghapus ketentuan isi kandungan al-Qur‟an. Demikian pendapat ulama yang menganggap adanya fungsi bayan nasakh.
Kelompok ulama yang membolehkan adanya nasakh hadis terhadap al-Qur‟an, mereka berbeda pendapat mengenai macam hadis yang dapat dipakai me-nasakh-nya. Pertama, kelompok yang membolehkan me-nasakh al-Qur‟an dengan segala macam hadis, meskipun hadis ahad. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Hazm, sebagian pengikut Zahiriyah, serta para ulama mutaqaddimin. Menurut mereka, meskipun hadis ahad hanya bisa menimbulkan zhan (sangkaan), namun tetap bisa menasakh al-Qur‟an. Karena mereka memahami arti nasakh dalam berbagai bentuk, sekalipun tafshil atas yang mujmal, takhshish atas yang „amm, dan taqyid atas yang mutlaq. Semua bentuk bayan tersebut dianggap sebagai nasakh menurut Ibnu Hazm dan golongan yang sepakat dengannya. Dan Rasulullah saw mempunyai tugas untuk menjelaskan al-Qur‟an, bahkan mereka percaya bahwa nasakh terjadi atas ayat-ayat al-Qur‟an dalam jumlah yang sangat besar.
Kedua, kelompok yang membolehkan dengan syarat bahwa hadis yang me-nasakh haruslah hadis mutawatir. Pendapat ini dikemukakan oleh kaum Mu‟tazilah. Alasan mereka adalah karena al-Qur‟an adalah mutawatir dari segi lafalnya, maka dari itu yang mutawatir hanya bisa dinasakh dengan yang mutawatir pula.
29 Sebagaimana yang telah penulis jelaskan pada bab sebelumnya, kata nasakh memiliki beberapa makna secara bahasa. Kata tersebut dapat berarti izalah (menghilangkan), ibdal (membatalkan), taghyir (mengubah) atau tahwil (memindahkan).
Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam Kedua
P u b l i s h b y : h t t p : / / b a k u l b u k u . c o m

Page 19
Dan ketiga, kelompok ulama yang membolehkan me-nasakh dengan hadis masyhur, tanpa harus dengan hadis mutawatir. Pendapat ini dikemukakan oleh para ulama Hanafiyah.karena mereka memahami makna nasakh secara sederhana, yaitu apa yang datang kemudian dapat merubah hukum yang terdahulu.
Salah satu contoh yang dapat diajukan oleh kelompok yang mengakui adanya fungsi bayan nasakh adalah sabda Nabi saw sari Abu Umamah al-Bahili yang berbunyi:
إ الله لذ أعطى كم ري حك حمه فلا وص تٍ نىاسث
“Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada tiap-tiap orang haknya (masing-masing). Maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.”30
Hadis ini menurut mereka yang mengakui adanya bayan nasakh, me-nasakh hukum wasiat bagi kedua orang tua dan kerabat yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 180 berikut,”Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
Adapun kelompok yang tidak sepakat tentang nasakh hadis terhadap al-Qur‟an, mereka berargumen berdasarkan surat Yunus ayat 15 berikut:
Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan kami berkata: "Datangkanlah Al Quran yang lain dari ini atau gantilah dia". Katakanlah: "Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya Aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)".
Ayat tersebut merupakan penegasan dari Allah bahwa Dia mewajibkan kepada Nabi untuk mengikuti semua yang diwahyukan kepadanya, dan melarang untuk merubah (me-
30 Hadis diriwayatkan oleh Ahmad dan Arba‟ah, kecuali al-Nasa‟i. hadis ini dinilai hasan oleh Ahmad dan Tirmidzi.
Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam Kedua
P u b l i s h b y : h t t p : / / b a k u l b u k u . c o m

Page 20
nasakh) dari pihak dirinya sendiri. Inilah argumen yang dikemukakan oleh As-Syafi‟i dan di dukung oleh mayoritas madzhab Zahiriyah. Berdasarkan ayat ini, mereka tidak sepakat menasakh al-Qur‟an dengan hadis, meskipun dengan hadis mutawatir.
Selanjutnya As-Syafi‟i menegaskan bahwa mengenai firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 106: “Apa saja yang Kami nasakh atau Kami jadikan manusia lupa kepadanya, maka Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.” Ayat ini menurutnya menjelaskan bahwa yang mendatangkan yang lebih baik atau yang sebanding itu adalah Allah, karena dhamir-nya kembali kepada-Nya. Dan mendatangkan yang lebih baik itu maksudnya adalah me-nasakh al-Qur‟an dengan al-Qur‟an, karena sunnah tidak sebanding dengan al-Qur‟an, dan sunnah tidak lebih baik dari al-Qur‟an.
Penulis tampaknya sepakat dengan pendapat yang terakhir, yakni pendapat yang melarang me-nasakh al-Qur‟an dengan hadis. Selain sepakat dengan argumen As-Syafi‟i tersebut, penulis mengaggap masalah nasikh-mansukh adalah masalah tauqifi, artinya bukan wilayah ijtihad yang boleh diperdebatkan. Untuk menentukan mana yang nasikh dan mana yang mansukh harus berdasarkan dalil al-Qur‟an dan hadis yang shahih. Selama tidak ada keterangan dari keduanya, maka tidak sepatutnya kita mengatakan bahwa ini mansukh dan ini yang menasakh. Karena me-nasakh hukum syari‟at adalah hak Allah, bukan hak manusia, bahkan Rasul pun tidak mempunyai hak untuk itu. selain itu, kurang tepat kiranya menyamakan bayan tafshil, taqyid dan takshish dengan bayan nasakh, karena masing-masing mempunyai implikasi hukum yang berbeda.
C. Pandangan Ulama Tentang Kemandirian Hadis Dalam Menetapkan Hukum
Al-Qur‟an menekankan bahwa Rasul saw berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah.31 Penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama beraneka ragam bentuk dan sifat serta fungsinya. Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam bukunya Al-Sunnah Fi Makanatiha Wa Fi Tarikhiha menulis bahwa sunnah mempunyai fungsi yang berhubungan dengan al-Qur‟an dan fungsi sehubungan
31 Q.S. Al-Nahl:44.
Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam Kedua
P u b l i s h b y : h t t p : / / b a k u l b u k u . c o m

Page 21
dengan pembinaan hukum syara‟. Dengan menunjuk kepada pendapat As-Syafi‟i dalam al-Risalah, Abdul Halim Mahmud menegaskan bahwa, dalam kaitannya dengan al-Qur‟an, ada dua fungsi Sunnah yang tidak di perselisihkan, yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara ulama dengan bayan ta’kid dan bayan tafsir. Yang pertama sekedar menguatkan atau menggarisbawahi kembali apa yang terdapat di dalam al-Qur‟an, sedangkan yang kedua memperjelas, merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir dari ayat-ayat al-Qur‟an.
Persoalan yang di perselisihkan adalah, apakah hadis atau sunnah dapat berfungsi menetapkan hukum baru yang belum ditetapkan dalam al-Qur‟an? Para ulama dalam menanggapi masalah ini, terbagi menjadi dua kelompok, pertama, kelompok yang mengatakan bahwa sunnah mempunyai kewenangan di dalam menetapkan suatu hukum, baik sunnah yang berfungsi sebagai penjelas terhadap al-Qur‟an maupun sunnah yang berfungsi sebagai penetap dan pembentuk hukum, meskipun tidak ada dalil yang menjelaskannya di dalam al-Qur‟an. Kedua, ulama yang berpendapat bahwa sunnah tidak mempunyai kewenangan di dalam menetapkan suatu hukum, kecuali ada dalilnya dalam al-Qur‟an. Ini berarti mustahil bagi Rasul untuk melakukan suatu perbuatan syar‟i yang tidak berdasarkan pada al-Qur‟an.
Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada „ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat) apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw untuk ditaati. Selain itu, kelompok ini juga berargumen dengan adanya kewajiban untuk mentaati dan mengikuti Rasulullah saw sebagaimana yang telah diperintahkan Allah dalam beberapa firman-Nya. Firman Allah dalam surat al-Nisa‟:80 misalnya,”Barang siapa yang mentaati Rasul, maka sesungguhnya ia telah mentaati Allah.” Ayat ini menegaskan bahwa mentaati Rasul adalah identik dengan mentaati Allah. Juga firman Allah dalam sirat al-Hasyr:7, ”Apa saja yang diberikan Rasul kepadamu terimalah dia, dan apa saja yang dilarangnya bagimu tinggalkanlah.” Allah telah memberikan kekhususan kepada Rasul-Nya dengan memberikan sesuatu yang harus ditaati dan tidak boleh didurhakai, yaitu sunnah yang beliau bawa dan tidak terdapat dalam al-Qur‟an.
Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam Kedua
P u b l i s h b y : h t t p : / / b a k u l b u k u . c o m

Page 22
Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn al-hukm illa lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah swt (dalam hal ini al-Qur‟an), ketika hendak menetapkan hukum. Lebih lanjut mereka mengatakan bahwa sunnah Rasul tidak lain hanyalah sekedar penjelasan terhadap tuntunan yang diterima dari Allah swt, sebagaimana penjelasan beliau tentang tata cara shalat, ketentuan hukum jual beli serta hukum syara‟ yang lainnya. Ketentuan-ketentuan hukum itu secara keseluruhan telah ada di dalam al-Qur‟an baik secara global maupun secara terperinci. Adapun firman Allah yang menjelaskan tentang kewajiban taat kepada Rasulullah saw seperti dalam Q.S. al-Nisa‟:80 yang dijadikan dasar bagi ulama yang mengakui atas kemandirian sunnah, merupakan kewajiban untuk mentaati segala penjelasan dan semua keterangannya.32
Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di atas, maka jalan keluarnya mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Quran didefinisikan sebagai bayan murad Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan penjelasan penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan, kesemuanya bersumber dari Allah SWT. Ketika Rasul saw. melarang seorang suami memadu istrinya dengan bibi dari pihak ibu atau bapak sang istri, yang pada zhahir-nya berbeda dengan nash ayat Al-Nisa' ayat 24, maka pada hakikatnya penambahan tersebut adalah penjelasan dari apa yang dimaksud oleh Allah SWT dalam firman tersebut.
Tentu, jalan keluar ini tidak disepakati, bahkan persoalan akan semakin sulit jika Al-Quran yang bersifat qathi'iy al-wurud itu diperhadapkan dengan hadis yang berbeda atau bertentangan, sedangkan yang terakhir ini yang bersifat zhanniy al-wurud. Disini, pandangan para pakar sangat beragam. Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Baina Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadits, menyatakan bahwa "Para imam fiqih menetapkan hukum-hukum dengan ijtihad yang luas berdasarkan pada Al-Qur‟an terlebih dahulu. Sehingga, apabila mereka menemukan dalam tumpukan riwayat
32 Dr. Ahmad Umar Hasyim. Al-Sunnah al-Nabawiyah wa Ulumuha. (t.tp.Maktabah Gharib.t.t.). h.35.
Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam Kedua
P u b l i s h b y : h t t p : / / b a k u l b u k u . c o m

Page 23
(hadis) yang sejalan dengan Al-Quran, mereka menerimanya, tetapi kalau tidak sejalan, mereka menolaknya karena Al-Quran lebih utama untuk diikuti."
Pendapat di atas, tidak sepenuhnya diterapkan oleh ulama-ulama fiqih. Yang menerapkan secara utuh hanya Imam Abu Hanifah dan pengikut-pengikutnya. Menurut mereka, jangankan membatalkan kandungan satu ayat, mengecualikan sebagian kandungannya pun tidak dapat dilakukan oleh hadis. Pendapat yang demikian ketat tersebut, tidak disetujui oleh Imam Malik dan pengikut-pengikutnya. Mereka berpendapat bahwa hadis dapat saja diamalkan, walaupun tidak sejalan dengan Al-Quran, selama terdapat indikator yang menguatkan hadis tersebut, seperti adanya pengamalan penduduk Madinah yang sejalan dengan kandungan hadis dimaksud, atau adanya ijma' ulama menyangkut kandungannya. Karena itu, dalam pandangan mereka, hadis yang melarang memadu seorang wanita dengan bibinya, haram hukumnya, walaupun tidak sejalan dengan lahir teks ayat Al-Nisa' ayat 24.
Imam Syafi'i, yang mendapat gelar Nashir Al-Sunnah (Pembela Al-Sunnah), bukan saja menolak pandangan Abu Hanifah yang sangat ketat itu, tetapi juga pandangan Imam Malik yang lebih moderat. Menurutnya, Al-Sunnah, dalam berbagai ragamnya, boleh saja berbeda dengan Al-Quran, baik dalam bentuk pengecualian maupun penambahan terhadap kandungan Al-Quran. Bukankah Allah sendiri telah mewajibkan umat manusia untuk mengikuti perintah Nabi-Nya?
Harus digarisbawahi bahwa penolakan satu hadis yang sanadnya sahih, tidak dilakukan oleh ulama kecuali dengan sangat cermat dan setelah menganalisis dan membolak-balik segala seginya. Bila masih juga ditemukan pertentangan, maka tidak ada jalan kecuali mempertahankan wahyu yang diterima secara meyakinkan (al-Quran) dan mengabaikan yang tidak meyakinkan (hadis).
Dalam masalah ini, penulis memandang bahwa perbedaan dari kedua kelompok yang berselisih di atas bertolak dari pemahaman bahwa sunnah yang tidak ditemukan dasarnya di dalam al-Qur‟an di anggap tidak sejalan dengan al-Qur‟an. Oleh karena tidak sejalan, maka tidak boleh diamalkan meskipun kelompok yang lainnya membolehkan
Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam Kedua
P u b l i s h b y : h t t p : / / b a k u l b u k u . c o m

Page 24
mengamalkannya. Hal ini tentu saja perlu diluruskan. Karena suatu ajaran Rasul saw tidak boleh dikatakan bahwa ajaran itu tidak didapatkan dasarnya di dalam al-Qur‟an dan tidak dapat dikatakan tidak sejalan dengan al-Qur‟an. Sebagaimana yang tertera di dalam al-Qur‟an, dasar perintah dan larangan bersifat global dan universal. Seperti kewajiban shalat, di dalam al-Qur‟an hanya dijumpai perintah wajibnya shalat, sedangkan jumlah raka‟atnya tidak dapat dicari dalam al-Qur‟an. Juga kewajiban zakat dalam al-Qur‟an, tidak ditemukan ketentuan-ketentuan yang jelas tentang macam-macan jenis harta yang wajib dizakati, juga jumlah zakat dari berbagai jenis harta yang wajib dizakati. Semua ketentuan tersebut hanya diperoleh dari sunnah Rasulullah saw.
Jumlah raka‟at dalam shalat, macam dan jenis harta yang wajib dizakati, beserta jumlah zakat yang harus dikeluarkan, semua ketentuan dari Rasul tersebut tidak dapat dikatakan tidak sejalan dengan al-Qur‟an, tetapi justru sebagai penjelas melalui uswah Rasulullah saw. Sekiranya contoh-contoh dari Rasulullah tersebut tidak dapat diamalkan, lantas darimana kita mengetahui tata cara menjalankan perintah shalat dan zakat? Selain itu tidak tepat juga dikatakan bahwa dalam hal ini sunnah bersifat mandiri sebagai sumber hukum syara‟, tetapi yang benar adalah sunnah muncul karena kebutuhan manusia untuk memahami dan menjalankan perintah dan larangan Allah dalam al-Qur‟an.
Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam Kedua
P u b l i s h b y : h t t p : / / b a k u l b u k u . c o m

Page 25
Daftar Pustaka
Al-Jauzi, Ibnu Qayyim. I’lam al-Muwaqi’in. Matba‟ah al-Sa‟adah, Mesir, Jilid 2, 1955.
Hamadah, Abbas Mutawali. As-Sunnah Al-Nabawiyah wa Makanatuha fi Tasyri’. Dar Al-Qoumiyah Al-Nasyr, Kairo, 1965.
Hasyim, Ahmad Umar. Al-Sunnah al-Nabawiyah wa Ulumuha. Maktabah Gharib, t.tp. t.t.
Ibnu Hanbal, Imam Abdullah Ahmad. Musnad Ahmad bin Hanbal. Al-Maktab Al-Islamiy, Beirut, t.t.
Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fiqh. Dar Al-Fikr, t.t. t.th.